Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,
Euro atau yang disebut Piala Eropa dalam Bahasa Indonesia merupakan turnamen sepak bola bentukan UEFA sebagai asosiasi sepak bola Eropa. Euro juga berarti perebutan mahkota Raja Sepak Bola Eropa. Banyak kisah menarik yang terjadi di kejuaraan ini.
Kejuaraan ini berawal dari ide Sekjen Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) bernama Henri Delaunay. Dia menginginkan adannya kejuaraan sepak bola yang mempertemukan antarnegara Eropa.
Saat itu turnamen atau kejuaraan memang sudah ada seperti Piala Nordic yang dimulai pada 1924, Kejuaraan Eropa Tengah yang digelar sejak 1927 ataupun yang tertua, yakni kejuaraan sepak bola di Inggris pada 1883. Namun, itu dianggap belum cukup menyatukan Eropa dalam pandangan Delaunay.
Sosok Delaunay memang cukup berpengaruh di persepakbolaan Eropa dan dunia. Ia bersama Jules Rimet ikut mendirikan federasi sepak bola dunia bernama FIFA yang menggelar Piala Dunia pada 1930 di Uruguay.
Ketika FIFA sudah menggelar Piala Dunia, Delaunay berusaha membuat kejuaraan bagi negara-negara benua biru dengan tujuan mendobrak sekat yang terjadi di negara-negara Eropa setelah Perang Dunia. Ia melobi berbagai negara, mau itu Eropa Barat ataupun Eropa Timur agar bergabung dan bertanding dalam kejuaraan sepak bola antarbangsa Eropa.
Delaunay mengajak Ottorino Barassi, presiden federasi sepak bola Italia, dan Jose Crahay sebagai sekjen sepak bola Belgia untuk merancang kejuaraan sepak bola Eropa. Proposal mereka diterima FIFA dan UEFA pun berdiri pada November 1953.
Delaunay akhirnya menjadi wakil Prancis saat pembentukan asosiasi sepak bola Eropa alias UEFA, pada 15 Juni 1954. Pada kongres pertama UEFA di Basel, gagasan Piala Eropa hanya mendapat dukungan sebanyak 10 negara dari 30 negara yang hadir.
Sayangnya, Delaunay wafat sebelum mimpinya itu terwujud. Ia wafat pada 9 November 1955, lima tahun sebelum Euro pertama digelar. Perjuangannya diteruskan oleh putranya Pierre Delaunay yang kembali mengajukan proposal Piala Eropa pada Juni 1957.
Proposalnya pun tembus. Gelaran pertama diputar selama dua tahun, yaitu pada 1958-1960 dan diikuti 17 negara partisipan dari 33 negara Eropa yang diundang. Nama resmi kejuaraan edisi perdana ini bernama Euro 1960, berdasarkan laman resmi UEFA.
Prancis menjadi tuan rumah semifinal dan final, sedangkan babak penyisihan dilakukan dengan sistem kendang tandang. Pada gelaran pertama, Uni Soviet keluar sebagai juaranya usai mengalahkan Yugoslavia di laga final yang digelar di Parc des Princes, Paris, Prancis.
Negara-negara seperti Italia, Inggris, ataupun Jerman Barat belum ikut serta. Rata-rata penonton Euro ketika itu adala 10 ribu penonton saja. Jumlah yang cukup sedikit bagi pertandingan sepak bola yang pada masa itu sedang berkembang pesat.
Partisipan baru meningkat pada gelaran Euro 1964. Setidaknya dari 33 negara yang diundang, 29 negara ikut berpatisipasi. Spanyol menjadi tuan rumah pertandingan semifinal dan final, sedangkan babak penyisihan sampai perempat final masih sama, yakni sistem kandang-tandang.
Laga final mempertemukan Spanyol dan Uni Soviet, di Stadion Chamatin, Madrid. Laga tersebut mencatatkan rekor dengan total penonton mencapai 120 ribu. Mendapat dukungan penuh dari pendukungnya, Spanyol akhirnya tampil sebagai juara dengan mengalahkan Uno Soviet 2-1.
Gelar dan sapaan kehormatan
Majesty adalah kata dalam bahasa Inggris yang diturunkan dari bahasa Latin maiestas yang bermakna "agung" dan biasanya digunakan sebagai sapaan (style) kepada kepala monarki, biasanya yang setingkat dengan king (raja) dan emperor (kaisar) beserta pasangannya. Saat digunakan sebagai menyebut orang ketiga penyebutannya adalah "His/Her Majesty" (tergantung jenis kelamin) dan saat digunakan untuk menyapa orang kedua penyebutannya "Your Majesty". Kata ini mulai digunakan untuk menyapa Raja Inggris pada masa Raja Henry VIII. Terkadang sapaan ini juga dibubuhi kata lain dalam penggunaannya, seperti "Your Imperial Majesty" untuk merujuk kaisar beserta permaisurinya atau maharani (kaisar wanita). Contoh lain adalah "Catholic Majesty" untuk menyapa Raja Spanyol dan permaisurinya atau Ratu Spanyol.
Dalam bahasa Indonesia, kata yang dapat disepadankan dengan "Majesty" adalah 'Baginda'. Sapaan ini secara resmi digunakan untuk menyapa Sultan Brunei beserta permaisurinya. Dalam percakapan sehari-hari, baginda juga digunakan oleh umat Islam untuk merujuk kepada Nabi Muhammad.
Contoh penggunaan resmi di Inggris Raya:
Highness adalah sapaan resmi yang digunakan untuk merujuk kepada anggota dinasti yang sedang berkuasa (pangeran dan putri) atau kepala monarki yang tingkatannya berada di bawah raja. Keturunan atau kerabat kaisar biasanya menggunakan sapaan "Imperial Highness" sedangkan keturunan atau kerabat raja menggunakan sapaan "Royal Highness." Di Abad Pertengahan, sapaan ini juga digunakan untuk menyapa Raja Inggris dan digunakan secara bergantian dengan majesty, sebelum akhirnya raja secara khusus hanya menggunakan majesty. Dalam bahasa Indonesia, sapaan yang dapat disepadankan dengan highness adalah 'Paduka' atau 'Yang Mulia'.
Contoh penggunaan resmi di Inggris Raya:
Grace adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa pihak dengan peringkat tinggi. Dulunya hal ini juga menjadi salah satu sapaan Raja Inggris. Di Inggris Raya sekarang, sapaan ini digunakan untuk menyapa duke dan duchess yang bukan anggota keluarga kerajaan. Grace juga digunakan untuk menyapa uskup agung. Dalam bahasa Indonesia, sapaan ini dapat disejajarkan dengan 'Yang Mulia'.
Contoh penggunaan resmi di Inggris Raya:
Lord adalah sapaan untuk pihak yang memiliki wewenang, kendali, atau kuasa atas hal lain, dan ini bisa digunakan kepada Tuhan dan zat supernatural lain atau kepada bangsawan. Biasanya kata ini diterjemahkan menjadi 'tuan' dalam bahasa Indonesia. Sapaan my lord dapat digunakan untuk menyapa raja pada masa lalu, selain juga menggunakan sapaan lain semisal Your Highness atau Your Majesty. Sekarang sapaan ini masih secara resmi digunakan kepada bangsawan di Inggris Raya.
Normalnya, lord digunakan untuk sebagai gelar dan sapaan untuk kaum pria. Meski begitu, ada beberapa kasus saat wanita juga menggunakan gelar ini. Sebagai pemimpin Pulau Man, Ratu Elizabeth II menyandang gelar "Lord of Mann."
Sir adalah sapaan kehormatan dalam bahasa Inggris. Secara resmi, sapaan ini ditujukan kepada laki-laki yang menyandang gelar kebangsawanan tertentu (knight atau baronet). Dalam kegiatan sehari-hari, sapaan ini juga dapat digunakan untuk menunjukkan rasa penghormatan kepada pihak yang disapa, seperti kepada guru laki-laki. Sir juga dapat digunakan untuk menyapa pria yang namanya tidak diketahui.
Sire adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa Raja Inggris Raya dan Belgia. Setelah menyapa sekali dengan sapaan Your Majesty, selanjutnya dibenarkan menyapa raja dengan sire. Sire dan sir, juga (mon)sieur dalam bahasa Prancis, berakar dari bahasa Latin senior.[15]
Pada awalnya, gentleman digunakan untuk merujuk pada laki-laki dari kalangan atas. Di istana, gentleman digunakan secara resmi sebagai gelar dari pejabat dan petugas istana. Misalnya, gentleman of the bedchamber adalah seorang pria yang bertugas sebagai asisten pribadi raja, menunggunya saat makan, atau membantunya saat berpakaian. Istilah gentlewoman juga digunakan untuk wanita yang menjadi asisten pribadi atau dayang dari ratu atau permaisuri, meskipun kemudian kata itu diganti dengan lady pada masa-masa selanjutnya.
Dalam penggunaan modern, kata ini merujuk kepada mereka yang dipandang sebagai pria terhormat. Penggunaan gentleman juga digunakan secara umum kepada semua pria, atau sebagai tanda pemisahan fasilitas berdasar jenis kelamin, seperti penanda dalam kamar mandi. Dalam suatu acara atau pengumuman di berbagai tempat umum, pembawa acara atau pewarta biasanya menyapa orang-orang dengan ladies and gentlemen sebagai bentuk rasa hormat.
Lady adalah kata dalam bahasa Inggris yang awalnya digunakan sebagai gelar atau sapaan resmi wanita bangsawan, kemudian diikuti nama marganya. Dalam konteks ini, lady menjadi padanan dari kata lord. Pada masa Abad Pertengahan, lady digunakan untuk merujuk pada anak perempuan raja, diikuti nama pertamanya, misalnya: The Lady Mary, karena bahasa dan Inggis Pertengahan tidak memiliki padanan wanita bagi gelar-gelar bangsawan. Ungkapan my lady juga digunakan saat menyapa wanita bangsawan, meski hal ini sudah tidak digunakan dalam penggunaan resmi pada masa modern ini. Dalam keberjalanannya, kata ini juga digunakan untuk merujuk pada mereka yang dipandang sebagai wanita terhormat, sebagaimana gentleman digunakan untuk merujuk pada pria terhormat. Lady juga digunakan sebagai gelar bagi dayang istana.
Dalam penggunaan modern, kata ini digunakan untuk merujuk kepada semua wanita secara umum untuk menunjukkan rasa hormat, utamanya kepada wanita tua atau wanita yang memiliki perangai baik. Namun dalam beberapa kasus, kata ini juga digunakan untuk merujuk pada wanita yang pada umumnya dipandang tidak memiliki pekerjaan bergengsi, semisal wanita petugas kebersihan yang disebut the cleaning lady atau wanita tuna wisma yang disebut a bag lady.
Madam adalah panggilan kepada wanita sebagai bentuk kesopanan dan kerap disingkat ma'am. Setelah menyapa sekali dengan sapaan Your Majesty, selanjutnya dibenarkan menyapa ratu atau permaisuri dengan ma'am. Secara resmi, madam juga menjadi sapaan resmi bagi wanita bangsawan di Inggris Raya modern, menjadikannya padanan bagi lord. Dalam percakapan sehari-hari, madam juga digunakan untuk menyapa wanita yang namanya tidak diketahui.
Dalam penggunaan lain, madam juga digunakan sebagai padanan dari mister. Misal, jika seorang presiden adalah pria maka akan disapa Mister President, sedangkan jika wanita akan disapa Madam President. Dalam konteks negatif, madam juga sering diidentikan untuk wanita yang mengelola rumah pelacuran.
Sistem baru di sejak Euro 1968
Gelaran ketiga Euro secara resmi menggunakan nama The European Championship menggantikan European Nation Cup. Euro tahun itu menggunakan babak penyisihan dengan grup, menggantikan sistem gugur pada dua edisi Euro sebelumnya.
Format grup digunakan pada babak penyisihan. Sementara, format semifinal dan final yang terpusat di satu negara, tetap digunakan. Italia menjadi tuan rumah kala itu.
Italia menggunakan tiga stadion untuk mementaskan laga semifinal, perebutan tempat ketiga, serta final. Ketiga stadion itu adalah Comunale di Firenze, San Paolo di Napoli, dan Olimpico di Roma.
Euro 1968 juga terasa spesial karena diikuti 31 negara termasuk juara dan finalis Piala Dunia 1966, Inggris dan Jerman Barat. Italia dan Yugoslavia melaju ke laga final.
Pada laga final, Italia dan Yugoslavia bermain dua kali karena pada laga pertama kedua tim bermain imbang 1-1. Gli Azzurri akhirnya tampil sebagai juara dengan skor 2-0. Dua gol dari Luigi Riva dan Paolo Anastasi sudah cukup membuat Italia juara Euro untuk pertama kali.
Euro selanjutnya terkadi pada 1972. Negara-negara Eropa mulai tertarik untuk mengikuti Euro pada tahun tersebut. Partisipan Euro 1972 mengalami peningkatan menjadi 32 peserta dari sebelumnya 31 peserta.
Babak penyisihan menjadi delapan grup yang masing-masing diisi oleh empat negara. Belgia ditunjuk sebagai tuan rumah laga semifinal dan final. Euro ’72 ini juga melahirkan juara baru, yakni Jerman Barat yang mengalahkan Uni Soviet 3-0 di Heysel, Brussel.
Euro terus berbenah hingga pada akhirnya, kejuaraan ini menjadi salah satu kejuaraan penting bagi tim-tim Eropa selain Piala Dunia. Setidaknya, Delaunay tidak sia-sia memperjuangkan keberadaan turnamen sepak bola di Eropa.
Sebagai penghormatan kepadanya, UEFA menamakan trofi Euro dengan nama Trofi Henri Delaunay. Trofinya kini diperebutkan di Euro 2024 Jerman oleh negara-negara Eropa yang mengejar status sebagai “Raja Sepak Bola Eropa”.
Terdapat 10 negara yang pernah menjadi kampiun sepak bola di benua Eropa. Jerman dan Spanyol adalah dua negara tersukses di Kejuaraan Piala Eropa, sama-sama mengumpulkan tiga gelar juara.
Jerman paling sering mencapai di final, yaitu sebanyak enam kali, dengan separuhnya sebagai tim Jerman Barat.
Selanjutnya Perancis dan Italia menyusul di belakang Tim Panser dan skuad Matador dengan torehan dua titel.
Sementara, ada enam negara yang masing-masing mengoleksi satu trofi, yakni Rusia/Uni Soviet, Ceko/Cekoslovakia, Denmark, Yunani, Belanda, serta Portugal.
Selain 10 negara yang menjadi juara, ada tiga negara yang menjejak hingga ke babak final. Mereka adalah Serbia (yang kala itu menjadi bagian Yugoslavia) dua kali mencapai babak final (1960, dan 1968), Belgia (1980,) dan Inggris (2020).
Italia merupakan negara terakhir yang menjadi kampiun Eropa. Gli Azzuri meraih trofi untuk kedua kalinya di EURO 2020 setelah mengalahkan Inggris di partai puncak lewat adu pinalti 3 – 2.
Sumber Data:Union of European Football Associations (UEFA)
Infografik:Albertus Erwin Susanto
Pengolah Data:Dwi Erianto
Editor:Topan Yuniarto
Peringkat kebangsawanan di kalangan masyarakat Eropa telah mengakar sejak Abad Kuno Akhir dan Abad Pertengahan. Meskipun begitu, memang terdapat beberapa perbedaan di tiap masa dan tiap daerah. Gelar kebangsawanan ini ditulis dalam bahasa Inggris dengan penyertaan padanannya dalam beberapa bahasa Eropa lain dan gelar di luar Eropa.
Peerage adalah sistem hukum yang secara historis tersusun dari beberapa gelar kebangsawanan (biasanya turun-temurun). Sistem peerage dapat berbeda-beda di tiap negara. Misalnya, sistem peerage Inggris Raya tersusun dari lima peringkat: duke, marquess, earl, viscount, dan baron.
Di Eropa pada abad pertengahan dan sebelumnya, sebuah kekaisaran atau kerajaan biasanya tidak memiliki pemerintahan terpusat. Beberapa daerah dan wilayah dalam sebuah monarki besar (kekaisaran atau kerajaan) biasanya dikelola dan dipimpin oleh bangsawan yang memiliki kekuasaan otonomi, mirip dengan sistem republik federal yang memberikan kewenangan pada tiap pemimpin daerah untuk mengelola daerahnya sendiri tanpa campur tangan yang terlalu banyak dari pusat. Para bangsawan tersebut memiliki peringkat yang berbeda-beda, yang juga berdampak pada besarnya jumlah kekuasaan yang mereka pegang. Peringkat dan gelar tersebut biasanya dianugerahkan oleh kaisar atau raja yang menjadi pemimpin para bangsawan tersebut, yang pada banyak kasus kemudian gelar tersebut dapat diwariskan kepada keturunan mereka.
Setiap daerah di Eropa memiliki tingkatan kebangsawanan masing-masing yang memiliki beberapa perbedaan antara satu negara dengan negara lainnya. Beberapa gelar di suatu negara terkadang tidak memiliki padanannya di negara dan bahasa lain, meski masih dalam satu lingkup benua Eropa. Namun begitu, beberapa tingkatan yang umum diketahui di benua Eropa adalah: emperor (kaisar), king (raja), duke (adipati), marquess, count atau earl, viscount, dan baron.
Emperor adalah tingkat kebangsawanan dan penguasa monarki tertinggi dalam tingkatan kebangsawanan Eropa. Gelar ini berasal dari bahasa Prancis kuno empereor, berasal dari bahasa Latin imperator[1]) yang awalnya bermakna “komandan” pada Republik Romawi. Dalam bahasa Indonesia, gelar yang dapat disepadankan dengan emperor adalah kaisar dan maharaja. Dalam penggunaannya, kaisar lebih bersifat umum, sedangkan maharaja lebih berkonotasi pada kaisar Hindu. Wilayah kekuasaan emperor disebut empire yang dapat disejajarkan dengan "kekaisaran" atau "kemaharajaan" dalam bahasa Indonesia.
Bentuk wanita dari gelar ini adalah empress dan dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni empress regnant yang merupakan seorang wanita yang memerintah empire atas namanya sendiri atau empress consort yang merupakan istri dari emperor. Dalam bahasa Indonesia, gelar yang dapat disejajarkan dengan empress secara umum adalah maharani. Sedangkan khusus mengindikasikan empress consort, cukup menggunakan “permaisuri kaisar” atau “permaisuri maharaja”.
Beberapa gelar non-Eropa yang dapat disejajarkan dengan emperor dan empress adalah:
King berasal dari bahasa Jerman kuningaz, yang bermakna “putra bangsa.” Gelar yang sepadan dalam bahasa Indonesia untuk king adalah raja dan wilayah kekuasaan king disebut kingdom, dapat disejajarkan dengan "kerajaan" dalam bahasa Indonesia. Kedudukan king (raja) secara umum berada di bawah emperor (kaisar atau maharaja), sedang king yang berdaulat lebih tinggi daripada king yang menjadi bawahan pemimpin lain.
Bentuk wanita dari king adalah queen. Queen berasal dari bahasa Jerman kwoeniz atau kwenon yang bermakna “istri.” Queen sendiri dapat digunakan sebagai gelar bagi seorang wanita yang memimpin kerajaan (queen regnant) atau sebatas istri dari king (queen consort). Dalam bahasa Indonesia, gelar yang sepadan dengan queen secara umum, baik dalam konteksnya sebagai penguasa atau sebatas istri penguasa, adalah ratu. Sedangkan permaisuri, atau lebih spesifiknya, permaisuri raja, hanya dapat disejajarkan dengan queen dalam konteksnya sebagai istri penguasa (queen consort).
Beberapa gelar non-Eropa yang dapat disejajarkan dengan king dan queen adalah:
High King adalah gelar yang digunakan oleh king yang memiliki senioritas di atas king lain, tanpa menyandang gelar emperor. Gelar lain yang setara dengan high king adalah king of kings atau raja diraja.
Duke adalah salah satu gelar kebangsawanan Eropa yang kedudukannya di bawah king. Gelar ini diturunkan dari bahasa Latin dux atau pemimpin, gelar yang disandang untuk pemimpin militer Republik Romawi. Penganugerahan gelar duke seringnya sangat terbatas pada keluarga kerajaan atau pada mereka yang dipandang memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan layak di mata keluarga kerajaan. Gelar di Indonesia yang dapat disepadankan dengan duke adalah bhre (gelar untuk keluarga istana yang memimpin provinsi dalam Kerajaan Majapahit) dan adipati.
Bentuk wanita dari gelar ini adalah duchess yang dapat mengindikasikan seorang wanita yang menyandang gelar tersebut atas namanya sendiri, atau hanya sebatas istri dari duke. Duchess dapat diterjemahkan menjadi istri adipati atau adipati wanita jika dia menyandang gelar tersebut atas namanya sendiri, bukan karena pernikahan. Walaupun demikian, Ratu Elizabeth II menyandang gelar Duke of Normandy di Kepulauan Channel dan Duke of Lancaster di Lancashire, dan bukan duchess.
Wilayah kekuasaan duke atau duchess disebut duchy atau dukedom. Status duchy dapat berupa negara berdaulat ataupun wilayah bagian dari sebuah kerajaan (kingdom) atau kekaisaran (empire). Di masa modern, banyak orang yang menyandang gelar duke atau duchess hanya sebatas gelar kehormatan dan kebangsawanan semata tanpa wilayah kekuasaan. Duchy dapat disepadankan dengan kadipaten di Indonesia. Contoh kadipaten di Indonesia yang masih bertahan adalah Mangkunegaran dan Paku Alaman.
Seiring berjalannya waktu, pamor duke semakin menurun pada Abad Pertengahan lantaran gelar ini kerap diberikan kepada penguasa feudal dengan wilayah kekuasaan yang sempit, menjadikan kemudian dibentuklah sebuah gelar baru, yakni grand duke. Gelar ini dapat diterjemahkan sebagai adipati agung dalam bahasa Indonesia. Di Eropa Barat, gelar ini pertama kali disandang penguasa wilayah Tuscana yang berada di semenanjung Italia. Grand duke menunjukkan penguasa monarki yang memiliki peran penting dalam bidang politik, militer, ataupun ekonomi, tetapi tidak cukup besar untuk dipandang sebagai kerajaan. Bentuk wanita dari gelar ini adalah grand duchess dan wilayah kekuasaannya disebut grand duchy. Di masa sekarang, satu-satunya negara berdaulat yang berbentuk grand duchy adalah Luksemburg.
Archduke (wanita: archduchess) adalah gelar yang digunakan sejak 1358 oleh penguasa dari wangsa Habsburg yang memerintah Austria. Dalam konteks ini, gelar ini diterjemahkan menjadi adipati agung dalam bahasa Indonesia sebagaimana grand duke, meskipun keduanya adalah gelar yang berbeda. Di dalam Kekaisaran Romawi Suci, gelar ini berada di bawah emperor dan king dan di atas grand duke (diperdebatkan) dan duke. Wilayah kekuasaan archduke disebut archduchy.
Kemudian semenjak abad keenam belas, gelar archduke dan archduchess disandang oleh semua anggota Dinasti Habsburg tanpa disertai wilayah kekuasaan. Dalam konteks ini, pengertian gelar ini bergeser menjadi pangeran dan putri dalam bahasa Indonesia, dan bukannya adipati agung sebagaimana awal mula penggunaannya.
Prince adalah salah satu gelar kebangsawanan Eropa dalam bahasa Inggris dan disepadankan dengan “pangeran” dalam bahasa Indonesia. Bentuk wanita dari gelar ini adalah princess yang disepadankan dengan “putri” dalam bahasa Indonesia.
Meskipun sering diidentikan dengan gelar untuk keturunan raja atau kaisar, prince sebenarnya juga merupakan gelar untuk kepala monarki yang tingkatannya di bawah raja. Hanya saja, bahasa Inggris menggunakan gelar yang sama untuk dua kedudukan yang berbeda tersebut, begitu juga dalam rumpun bahasa Roman yang lain. Hal ini berbeda dengan bahasa Belanda, Skandinavia, dan rumpun bahasa Slavia yang memiliki dua gelar berbeda untuk ini. Seperti dalam bahasa Jerman, pangeran yang menjadi pemimpin monarki disebut fürst (bentuk wanitanya fürstin), sedangkan pangeran yang merupakan keturunan penguasa monarki (kaisar, raja, atau fürst) disebut prinz (prinzessin untuk wanita). Baik fürst maupun prinz, keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai prince.[2]
Sebuah wilayah yang dipimpin seorang prince (fürst) disebut principality (fürstentum dalam bahasa Jerman)[3] atau “kepangeranan” dalam bahasa Indonesia. Negara berdaulat yang berbentuk principality saat ini adalah Andorra, Liechtenstein, dan Monako. Di Eropa tengah, kedudukan fürst berada di bawah duke.
Marquess adalah gelar kebangsawanan yang berada di bawah duke dan di atas earl atau count. Pelafalan Prancis untuk gelar ini, marquis, kerap digunakan dalam bahasa Inggris. Wanita yang berada pada tingkatan ini, baik atas namanya sendiri maupun sebagai istri dari marquess, menyandang gelar marchioness di Britania Raya dan Irlandia atau marquise di tempat lain di Eropa. Di masa lalu, perbedaan antara marquess dan count adalah tanah kepemimpinan marquess, disebut march atau mark, berada di tanah perbatasan negara, sedangkan biasanya count tidak. Hal ini menjadikan seorang marquess dipercaya untuk melindungi negara dari potensi serangan negara tetangga, menjadikan kedudukannya berada di atas count.
Count (pria) atau countess (wanita) adalah gelar kebangsawanan Eropa yang memiliki bermacam-macam status. Kata ini diturunkan dari bahasa Prancis comte, dari bahasa Latin comes, yang bermakna sekutu, dan kemudian bermakna “sekutu kaisar” atau “duta kaisar.”[4] Di Kekaisaran Romawi Barat, count adalah pemimpin angkatan bersenjata tanpa peringkat yang spesifik. Sedangkan di Kekaisaran Romawi Timur pada abad ketujuh, count merujuk peringkat seorang pemimpin dari dua ratus orang. Pada masa Kekaisaran Karoling, count dapat diserupakan dengan gubernur yang memimpin sebuah provinsi atau wilayah lain yang lebih kecil. Wilayah kekuasaan count disebut county. Sistem peerage Inggris Raya tidak menggunakan gelar ini, tetapi menggunakan gelar earl.
Earl adalah gelar kebangsawanan. Di sistem peerage Inggris Raya, gelar ini berada di bawah marquess[5] dan kedudukannya disamakan dengan count. Gelar ini berasal dari bahasa Inggris kuno, mirip bahasa Skandinavia jarl yang bermakna “kepala suku” yang memerintah sebuah wilayah atas nama raja. Tidak ada bentuk wanita dari kata earl, sehingga gelar countess menjadi padanan wanitanya, yang merujuk pada wanita yang berada di peringkat ini atas namanya sendiri, atau istri dari earl.
Awalnya earl berperan sebagai gubernur kerajaan. Berbeda dengan duke, earl tidak memerintah atas namanya sendiri. Di masa Inggris kuno, earl memiliki kewenangan terhadap wilayah mereka dan hak untuk pengadilan pada mahkamah provinsi sebagai duta raja. Mereka juga dapat menarik denda dan pajak. Pada masa perang, earl diberi amanah memimpin pasukan raja. Beberapa shire (istilah lama untuk sebuah bagian dalam satu wilayah dalam Inggris Raya) bersatu dan membentuk wilayah kesatuan yang lebih besar yang disebut earldom yang dikepalai seorang earl.
Viscount adalah gelar kebangsawanan Eropa yang memiliki beberapa macam status, tetapi secara historis berada pada peringkat menengah bawah.[6] Di banyak negara, viscount awalnya bukan merupakan gelar turun-temurun hingga beberapa waktu belakangan dan memegang posisi tata usaha dan kehakiman.[7] Bentuk wanita dari gelar ini adalah viscountess.
Kata viscount berasal dari bahasa Latin vice “wakil” dan comes “sekutu kaisar”.[8] Pada masa Kekaisaran Karoling, raja mengutus count sebagai administrator sebuah provinsi dan wilayah yang lebih kecil sebagai gubernur dan komandan angkatan bersenjata, sedangkan viscount ditugaskan sebagai wakil count dalam mengurus provinsi, dan sering bertanggung jawab atas masalah kehakiman.[7] Raja secara ketat menjaga agar jabatan count dan viscount tidak menjadi gelar turun-temurun, untuk menjaga kewenangan mereka dan menekan kemungkinan pemberontakan.[7]
Baron adalah gelar kehormatan yang kerap dapat diwariskan. Bentuk wanita dari gelar ini adalah baroness. Dalam sistem peerage (sistem hukum yang terdiri dari gelar turun-temurun di berbagai negara, terdiri dari beberapa tingkatan bangsawan) di Inggris Raya, baron berada di tingkat paling rendah dan di bawah viscount.
Baronet adalah gelar kehormatan turun-temurun yang tidak termasuk ke dalam peerage. Baronet tidak dipandang sebagai kelas bangsawan, atau termasuk bangsawan rendah. Bentuk wanitanya adalah baronetess.
Knight adalah gelar kehormatan yang dianugerahkan oleh pemimpin monarki atau pemimpin politik lain kepada mereka yang telah berjasa terhadap monarki atau negara, biasanya dalam bidang ketentaraan.[9] Istilah dalam bahasa Indonesia yang hampir serupa dengan knight adalah kesatria. Pada abad pertengahan, knight dianggap sebagai kelas bangsawan rendah. Gelar dame digunakan sebagai padanan resmi dari knight untuk wanita diperkenalkan sejak tahun 1917 oleh Ordo Kekaisaran Britania.
Sebagaimana lazimnya gelar kebangsawanan Eropa, tiap gelar memiliki bentuk pria dan wanita. Dalam bahasa Inggris, bentuk wanita dari sebuah gelar atau posisi akan menyandang akhiran -ess, sebagaimana akhiran -wati dalam bahasa Indonesia. Namun ada gelar yang berakhiran -ess tapi tidak diperuntukkan untuk wanita, misal: marquess. Selain itu, ada juga gelar untuk wanita yang tidak berakhiran -ess, misal: queen.
Gelar queen dibagi menjadi dua, yaitu queen regnant (ratu) dan queen consort (permaisuri). Contohnya dalam kasus monarki Britania Raya, gelar queen regnant dan queen consort memang menjadi masalah yang cukup besar. Biasanya, istri seorang raja menjadi queen consort jika dia sendiri tidak dilahirkan dalam keluarga bangsawan. Camilla, istri dari Charles III, menyandang gelar queen consort bukan queen regnant karena Charles sewaktu menyandang gelar sebagai Pangeran Wales berselingkuh dengannya saat Charles masih menikah dengan Putri Diana, dan seolah-olah, karena ini adalah pernikahan kedua mereka, sebelum pernyataan Ratu Elizabeth diyakini bahwa Camilla Parker Bowles akan mengambil gelar princess consort. Ini mirip dengan Pangeran Philip, yang gelar resminya adalah prince consort. Namun dalam sebuah pernyataan yang menandai peringatan 70 tahun aksesi ke takhta awal tahun 2022, Ratu Elizabeth II mengumumkan bahwa dia ingin Camilla dikenal sebagai "permaisuri" atau queen consort ketika Charles menjadi raja. Ratu Elizabeth II sendiri adalah queen regnant. Ini adalah gelar yang diberikan kepada seorang wanita yang mewarisi mahkota Inggris dengan hak lahir. Seorang queen regnant memiliki kekuasaan berdaulat penuh. Sementara itu, seorang permaisuri (queen consort) memegang gelar perempuan yang setara dengan gelar suaminya dan memiliki mahkota mewah untuk dirinya sendiri. Namun, dia tidak berbagi kedaulatan raja juga tidak berbagi kekuatan politik dan militernya. Oleh karena itu, Camilla akan menjadi Permaisuri Camilla. Selain itu, permaisuri ini nanti tidak akan memiliki kekuatan politik atau kedaulatan.
Saat seorang wanita menikah dengan pria bangsawan, wanita tersebut juga akan dianugerahi bentuk wanita dari gelar suaminya. Jika suaminya adalah seorang king, maka sang istri akan menjadi queen, jika seorang wanita menikah dengan seorang duke, maka dia akan menjadi duchess, begitu seterusnya. Hal ini didasarkan pada prinsip Kristen bahwa pernikahan adalah penyatuan dua individu.[10] Namun meskipun telah berbagi kedudukan yang setara, hal ini tidak diikuti pembagian peran dan kewenangan. Misalnya, meskipun seorang wanita telah menikah dengan king, seorang queen tidak bisa ikut campur dalam urusan pemerintahan dan negara.
Berbagi kedudukan yang setara juga terjadi jika pihak wanitalah yang pada dasarnya menyandang gelar kebangsawanan, seperti seorang pria akan menjadi king jika menikahi queen. Namun dalam kasus ini, peran dan kewenangan dalam gelar tersebut akan jatuh ke tangan suami yang notabene hanya mendapat gelar karena menikahi wanita bangsawan. Atau paling tidak, kedua orang itu akan berbagi peran dengan setara secara hukum. Namun sangat jarang seorang wanita menjalankan peran dan kewenangannya secara mandiri selama dia masih memiliki suami. Hal ini karena biasanya urusan pemerintahan merupakan ranah kewenangan kaum pria.
Dengan keadaan seperti ini, meski secara teori setara, pada kenyataannya gelar kebangsawanan wanita akan dipandang lebih rendah daripada gelar kebangsawanan pria. Queen dipandang lebih rendah dari king, duchess dipandang rendah dari duke, dan sejenisnya. Oleh karena masalah ini, beberapa wanita yang menjadi bangsawan atas namanya sendiri memilih untuk menyandang gelar yang lazimnya dipakai pria untuk menegaskan peran dan kewenangan mereka. Contoh kasus ini adalah Ratu Jadwiga yang memerintah Polandia pada tahun 1384–1399. Dia menyandang gelar król saat memerintah, yang sering diterjemahkan menjadi king dalam bahasa Inggris atau raja dalam bahasa Indonesia, dan bukannya menyandang gelar króla (queen atau ratu) yang merupakan bentuk wanita dari król. Kasus yang mirip terjadi sebelumnya di Kekaisaran Romawi Timur. Maharani Irene yang memerintah pada tahun 797–802 bahkan tidak konsisten dalam menggunakan gelarnya. Dia menandatangani dua dokumen dengan memakai gelar basileus (βασιλεύς), gelar yang biasanya disandang Kaisar Romawi Timur, dan gelar itu pula yang muncul di koin emasnya yang ditemukan di Sisilia. Namun dalam dokumen dan koin yang lain, Irene menggunakan gelar basilissa (βασίλισσα), bentuk wanita dari gelar basileus yang biasanya digunakan oleh permaisuri kaisar.[11] Beberapa hal yang lain yang dilakukan para wanita untuk menegaskan kewenangan mereka secara mandiri adalah dengan mengadakan perjanjian tertulis, tidak menikah, atau memberikan gelar yang lebih rendah kepada suaminya. Pembahasan lebih lanjut ada di bagian "hak atas gelar: jure uxoris" di bawah.
Suo jure adalah istilah dalam bahasa Latin yang berarti "atas namanya sendiri." Maknanya adalah bahwa sang penyandang gelar menerima gelar tersebut atas namanya sendiri, karena pihak yang bersangkutan adalah pewaris dari status kebangsawanan tersebut, dan bukan hanya karena pernikahan. Duchess suo jure berarti bermakna bahwa wanita yang bersangkutan menjadi duchess atas namanya sendiri, bukan karena dia menikah dengan seorang duke.
Untuk empress dan queen atas namanya sendiri, biasanya digunakan istilah regnant dalam bahasa Inggris daripada menggunakan suo jure, yakni empress regnant (maharani) dan queen regnant (ratu), bertolak belakang dengan empress consort (permaisuri kaisar) maupun queen consort (permaisuri raja). Dalam penulisan dan pengucapan sehari-hari, tambahan regnant dan consort tidak digunakan, sehingga cukup empress dan queen, baik mereka memerintah atas namanya sendiri maupun hanya sebatas permaisuri.
Jure uxoris adalah istilah dalam bahasa Latin yang bermakna "atas nama istrinya."[12] Istilah ini mengacu pada seorang pria yang mendapat gelar kebangsawanan karena menikahi seorang wanita yang menyandang gelar kebangsawanan atas namanya sendiri. Misal, raja jure uxoris berarti bahwa laki-laki tersebut menjadi raja bukan karena keturunan dari dinasti penguasa kerajaan tersebut, tetapi karena menikah dengan seorang ratu. Hal ini pernah terjadi kepada Guy dari Lusignan yang menjadi Raja Yerusalem sejak tahun 1186 karena menikah dengan Sibylla, Ratu Yerusalem atas namanya sendiri.
Prinsip jure uxoris didasarkan pada prinsip feodal abad pertengahan Eropa. Hukum di Eropa, baik dari Kristen yang merupakan agama mayoritas masyarakat Eropa, maupun dari hukum pra-Kristen, tidak memberikan seorang wanita hak milik pribadi bila telah menikah. Seluruh hak milik istri akan lebur menjadi milik suami, penguasaan dan pengelolaannya juga sesuai kehendak sang suami, meskipun istrinya tidak setuju.[13] Masalah hak milik ini juga termasuk gelar dan hak kebangsawanan. Hukum ini mengikat semua wanita yang menjadi istri, bahkan termasuk seorang ratu sekalipun. Seorang lelaki bahkan dapat meneguhkan kepemilikan atas gelar dan segala hak milik istri bahkan setelah pernikahan mereka berakhir. Saat pernikahan Matius dan Marie dibatalkan oleh Paus pada 1170, Marie yang merupakan pemimpin County Boulogne hidup di biara, sedangkan suaminya tetap melanjutkan kepemimpinannya atas county tersebut.
Pada masa pencerahan, terdapat beberapa upaya yang dilakukan untuk menegaskan kemandirian wanita menyangkut peran dan kewenangannya agar tidak dibayang-bayangi suaminya. Beberapa di antaranya adalah melakukan perjanjian tertulis agar kedudukan dan peran sang wanita tetap menjadi yang paling tinggi. Hal ini terjadi saat pernikahan Mary I, Ratu Inggris, yang hendak menikah dengan Felipe II. Meski Felipe dilantik menjadi Raja Inggris setelah menikah dengan Mary, kewenangannya berada di bawah istrinya. Upaya lain yang dilakukan untuk menjaga kekuasaan seorang wanita adalah dengan tidak menikah, seperti yang dilakukan oleh Elizabeth I, Ratu Inggris dan saudari Mary I.
Di masa-masa selanjutnya, seorang pria yang menikahi wanita bangsawan akan dianugerahi gelar yang tingkatannya lebih rendah dari istrinya. Hal ini untuk lebih menegaskan lagi kedudukan sang wanita. Misalnya, seorang pria yang menikahi queen (ratu) akan dianugerahi gelar prince (pangeran) dan bukannya king (raja). Suami tiga Ratu Belanda, Wilhelmina (berkuasa 1890-1948), Juliana (berkuasa 1948-1980), dan Beatrix (berkuasa 1980-2013), masing-masingnya bergelar pangeran, dan bukan raja. Di Inggris Raya, tradisi untuk tidak memberikan gelar king kepada suami ratu dimulai semenjak masa Ratu Anne (berkuasa 1702-1713). Ratu Victoria (berkuasa 1837-1901) hendak menganugerahkan gelar king kepada suaminya, Albert, tetapi parlemen tidak menyetujui hal itu karena sentimen anti-Jerman dan upaya untuk menjauhkan Albert dari politik. Suami Ratu Elizabeth II (berkuasa sejak 1952) juga tidak diangkat menjadi raja, begitu pula suami Margrethe II, Ratu Denmark (berkuasa sejak 1972).
Jure matris adalah istilah dalam bahasa Latin yang bermakna "atas nama ibunya." Istilah ini digunakan ketika gelar kebangsawanan diturunkan dari ibu ke anaknya. Istilah ini juga digunakan untuk seorang wanita yang memberikan sebagian kewenangannya dalam memerintah kepada anaknya. Di Eropa pada umumnya, seorang suami akan memerintah atas nama istrinya bila pihak wanita menyandang gelar kebangsawanan atas namanya sendiri. Namun saat suaminya wafat, sang wanita dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada anaknya.
Consort adalah istilah untuk "pasangan" dalam bahasa Inggris yang konteksnya digunakan dalam gelar kebangsawanan. Bila istilah ini menempel pada gelar kebangsawanan, hal ini menandakan bahwa sang penyandang gelar mendapat gelar tersebut bukan atas namanya sendiri, melainkan sebatas melalui pernikahan. Queen consort bermakna bahwa dia adalah wanita yang menjadi queen karena pernikahan, bukan karena sang wanita mewarisi gelar tersebut atas namanya. Berbeda dengan queen regnant yang bermakna seorang wanita yang menyandang gelar queen atas namanya sendiri. Dalam penulisan dan percakapan sehari-hari, biasanya imbuhan regnant dan consort tidak digunakan, sehingga untuk membedakannya, harus dilihat konteks pembicaraannya terlebih dahulu.
Sebagai tambahan, king consort (raja pendamping) berbeda dengan king jure uxoris (raja jure uxoris). King jure uxoris bermakna bahwa laki-laki tersebut memiliki kewenangan memerintah lantaran menikah dengan queen regnant, sementara king consort bermakna bahwa dia hanyalah sebatas pasangan dari queen regnant tanpa kewenangan memerintah. King consort sepadan dengan queen consort (permaisuri raja).
Grand Duke/ Grand Prince, Grand Duchess/ Grand Princess
Magnus Dux/ Magnus Princeps, Magna Ducissa, Magna Principissa
Kebangsawanan di Eropa modern
Sekitar abad kedelapan belas, kekuasaan para penguasa monarki dan para bangsawan mendapat penentangan hebat dari masyarakat lantaran masalah kesenjangan sosial. Salah satu bentuk penentangan sistem kebangsawanan yang paling terkenal dalam sejarah Eropa adalah Revolusi Prancis. Terilhami dari gagasan liberal dan radikal, semangat revolusi ini menyebar ke berbagai bagian Eropa dan dunia dan mengubah arah gerak sejarah modern, menurunkan jumlah monarki mutlak di dunia secara dramatis dan menggantinya dengan republik dan demokrasi liberal.[16]
Walaupun begitu, beberapa monarki masih bertahan pada masa modern, meskipun dengan memangkas banyak kekuasaan yang mereka miliki, sehingga lahirlah monarki konstitusional. Kecuali kepausan, semua monarki di Eropa yang tersisa pada masa modern berbentuk monarki konstitusional, membatasi kewenangan penguasa monarki dan para bangsawan dalam sebuah hukum yang diatur parlemen. Hal ini juga berdampak dalam kekuasaan para bangsawan. Meskipun beberapa gelar dan tingkatan bangsawan masih tetap dipertahankan di sebagian negara, tetapi kebanyakan dari gelar-gelar tersebut kehilangan kewenangan nyatanya. Sebagian besar dari pemegang gelar tersebut sudah tidak memiliki wilayah kekuasaan, menjadikan gelar yang disandang hanya sebatas status kehormatan semata.
Banyak yang meremehkan Los Blancos jelang final melawan Liverpool, namun pada akhirnya mereka tetap menegaskan status sebagai raja Eropa.
Di luar Stade de France, terjadi kekacauan, gas air mata, gerbang yang ditutup, dan antrean penonton yang mengular.
Tapi di dalam, ada ketertiban. Segala momen yang berjalan secara natural.
Real Madrid memang kalah dominan dari Liverpool di final Liga Champions, setidaknya secara statistik, namun mereka bisa mencetak gol dan pada akhirnya keluar sebagai pemenang.
Itulah yang mereka lakukan, terutama dalam kompetisi ini.
Seperti pada periode perpanjangan waktu melawan Chelsea dan Manchester City, begitu Madrid unggul, mereka sulit digoyahkan. Liverpool mengurung pertahanan mereka, tapi Thibaut Courtois tampil luar biasa hingga sulit ditembus.
Sang raja Eropa mengangkan rekor Piala Eropa ke-14 di Paris, meninggalkan pesaing terdekat mereka, AC Milan, yang punya tujuh trofi. Pelatih Carlo Ancelotti telah memenangkan kompetisi ini empat kali, lebih banyak dari manajer lainnya.
Real Madrid telah memenangkan lima trofi Liga Champions dalam sembilan musim, rekor yang tak tertandingi oleh tim mana pun - selain mereka sendiri, yang juga memenangkan lima edisi pertama turnamen tersebut, dari tahun 1956-1960.
Los Blancos mendominasi sepakbola Eropa sejak mereka pertama kali dibentuk dan bahkan sekarang, ketika mereka mengklaim bahwa ini adalah tahun mereka, tidak ada yang bisa menghentikan mereka.
Ada perjalanan ajaib untuk mencapai final, dimulai ketika penjaga gawang Paris Saint-Germain, Gianluigi Donnarumma blunder memberikan bola kepada Karim Benzema di kotak penaltinya sendiri pada awal Maret lalu.
Tim Prancis unggul 2-0 secara agregat dengan kurang dari setengah jam pertandingan tersisa, dengan Kylian Mbappe dan rekan-rekannya. setelah mendominasi 150 menit yang sudah mereka mainkan sejauh itu.
Tapi begitu Donnarumma memberikan ruang bagi Madrid untuk bangkit sekecil apa pun, mereka memanfaatkannya dengan optimal, dan kemudian bahkan berlanjut hingga ke London, Manchester dan kemudian Paris. Dan akhirnya, mereka kembali ke ibukota Spanyol dan Plaza de Cibeles, di mana mereka akan merayakan kemenangan mereka dengan puluhan ribu pendukung.
Mereka memiliki keajaiban melawan Chelsea, di mana saat tertinggal 3-0 di leg kedua, mereka membutuhkan assist yang luar biasa dari Luka Modric kepada Rodrygo untuk memaksakan perpanjangan waktu.
Lalu keajaiban lain datang saat jumpa Manchester City, dua gol hanya dalam waktu satu menit di menit akhir dari Rodrygo lagi-lagi membuat pertandingan harus berlanjut ke perpanjangan waktu.
Tapi di final, mereka tidak membutuhkan momen Rodrygo, atau keajaiban lainnya, kecuali jika Anda ingin menggambarkan performa Courtois seperti itu.
Courtois tampil luar biasa bagi Madrid setiap kali mereka membutuhkannya, seperti di Paris, terutama menghentikan aksi awal Mohamed Salah, serta menghasilkan penyelamatan magisterial untuk menangkal ancaman Sadio Mane.
Penyelamatannya terhadap aksi Mane, yang mengarahkan bola ke tiang tangan kanannya, adalah penyelamatan yang terbukti krusial dan menjadi titik paling penting dalam perjalanan Madrid ke tangga juara.
Madrid mengira mereka telah memimpin melalui Karim Benzema sebelum turun minum, tetapi gol itu dianulir karena off-side yang sangat bisa diperdebatkan karena bola sedikit mengenai Fabinho sebelum menuju padanya.
Namun, pada menit ke-59, mereka memimpin melalui aksi Vinicius Junior, yang mencetak gol setelah menerima umpan brilian dari Fede Valverde.
Setelah itu, Courtois dan Madrid mati-matian mempertahankan keunggulan. Peluang terbaik Liverpool jatuh ke tangan Salah, namun sang kiper menggunakan lengan bawahnya untuk memblok upaya pemain Mesir itu.
Tidak ada cerita balas dendam yang diwujudkan oleh Salah kali ini, Courtois-lah yang memastikan cerita itu tidak terjadi.
Sang kiper Belgia, yang telah menikmati musim yang luar biasa dan akhirnya melampaui level yang ia capai di Atletico Madrid dan tidak mampu menyamainya di Chelsea, adalah pilar kekuatan utama Madrid di bawah mistar.
Courtois membuat sembilan penyelamatan, sebuah rekor baru di final Liga Champions sejak Opta mulai mengumpulkan data, dan dengan 59 penyelamatan, ia juga mencatatkannya lebih banyak dalam satu kampanye daripada kiper lainnya.
"Kemarin dalam konferensi pers saya mengatakan bahwa ketika Madrid memainkan final, mereka menang. [Sekarang] saya berada di sisi sejarah yang baik," kata Courtois kepada BT Sport.
"Saya melihat banyak tweet datang kepada saya mengatakan bahwa saya akan jadi bulan-bulanan hari ini, tapi sebaliknya.
"Hari ini saya perlu memenangkan final untuk karier saya, untuk semua kerja keras, mendapatkan respek untuk nama saya karena saya merasa tidak terlalu dihargai, terutama di Inggris. Saya melihat banyak kritikan bahkan setelah menjalani musim yang hebat."
Jika Anda tidak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka, pikir Courtois setelah kalah di final 2014 dengan Atletico melawan Real Madrid.
Saat itu, Los Blancos membutuhkan comeback menakjubkan lainnya; kali ini Courtois memastikan lawan tidak melakukannya.